Rabu, 21 Maret 2018

Terminasi Hubungan Konseling

Terminasi mengacu pada keputusan untuk menghentikan konseling. Keputusan dapat dibuat sepihak atau bersama. Terlepas dari banyak bahasan mengenai konseling terminasi merupakan aspek konseling yang paling sedikit dibahas. Kebanyakan konseling dianggap sudah selesai apabila klien merasa sudah puas dan tidak memiliki masalah lagi. Tapi terminasi hubungan konseling mempunyai dampak pada semua pihak yang terlibat, dan biasanya kompleks serta rumit. Terminasi menghasilkan perasaan campur aduk pada konselor, maupun klien (Kottler, Sexton, & Whiston, 1994 dalam Gladding, 2012). Terminasi mempunyai kekuatan melukai dan menyembuhkan.
Fungsi Terminasi
Menurut sejarah membicarakan terminasi secara langsung dihindari Ward (1984) menyebutkan dua alasannya. Pertama, kata terminasi diasosiasikan dengan kata kalah, konseling seharusnya menekankan pada perkembangan dan pertumbuhan yang tidak berhubungan dengan akhir.  Kedua, terminasi tidak secara langsung berhubungan dengan keahlian mikro yang memfasilitas hubungan konseling.
Terminasi memiliki beberapa fungsi penting. Pertama, terminasi adalah tanda bahwa sesuatu telah selesai dilakukan. Untuk memulai pengalaman baru, pengalaman terdahulu harus diselesaikan dan dipecahkan (Perls, 1969 dalam Gladding, 2012). Baik konselor maupun klien termotivasi oleh pengetahuan bahwa pengalaman konseling terbatas oleh waktu (Young, 2005 dalam Gladding, 2012). Dengan membatasi jumlah sesi dalam konseling ini efektif karena dengan keterbatasan waktu yang ada konselor dan klien akan berusaha untuk memanfaatkan sesi semaksimal mungkin. Kedua, terminasi berarti mempertahankan perubahan yang telah dicapai dan mengembangkan keahlian untuk memecahkan masalah yang telah didapat dari konseling (Dixon & Glover, 1984). Dari sini klien akan memperkuat pengalaman potensial dan membuatnya melihat masa kini dengan cara yang berbeda serta mempraktekkan kemandirian. Ketiga, terminasi bertindak sebagai pengingat bahwa klien adalah orang dewasa (Vickio, 1990 dalam Gladding, 2012). Selain sebagai pertanda bahwa sesuatu telah selesai dilakukan dan pengembangan keahlian, terminasi efektif untuk menandai waktu dalam kehidupan klien.
Saat yang Tepat untuk Terminasi
Tidak ada jawaban pasti namun bagaimanapun terminasi harus direncanakan dan tidak mendadak. Tidak bisa terlalu cepat karena klien dapat kehilangan dasar dari konseling dan kembali mundur ke perilaku sebelumnya. Tidak bisa terlalu lambat pula karena ini dapat menjadikan klien menjadi ketergantungan. Namun ada pertimbangan pragmatis dalam menentukan saat terminasi yang tepat (Cormier & Hackney, 2008; Young, 2005 dalam Gladding, 2012).
  • Apakah klien mencapai tujuan perilaku, kognitif, atau efektif? Kunci dari pertimbangan ini adalah mengatur kontrak yang disetujui bersama sebelum konseling dimulai.
  • Dapatkah klien menunjukkan secara kongkret sampai dimana kemajuan yang diperolehnya dari tujuan yang ingin diacapai? Kemajuan spesifik merupakan dasar terminasi
  • Apakah hubungan konseling dapat membantu? Apabila konseling tidak membantu klien maka terminasi adalah hal tepat dilakukan
  • Apakah konteks awal konseling telah berubah? Apabila konteks awal konseling telah berubah misalnya klien pindah, ada penyakit jangka panjang maka terminasi dipertimbangkan.
Isu Terminasi
1. Terminasi Sesi Individual
Benjamin (1987) menyebutkan dua faktor penting dalam mengakhiri suatu hubungan wawancara. Pertama, baik konselor maupun klien harus menyadari bahawa sesi telah berakhir. Kedua, jangan memperkenalkan atau mendiskusikan materi baru di akhir sesi. Konselor dapat mengakhirri sesi dengan beberapa cara. Salah satunya dengan memberikan pertanyaan singkat yang menandakan bahwa sesi telah berakhir (Benjamin, 1987; Cormier & Hackney, 2008 dalam Gladding, 2012). Mengingatkan sesi segera berkahir, menggunakan bahasa tubuh yang menunjukkan bahawa sesi telah berakhir.
Selanjutnya akan sangat membantu apabila dibuat ringkasan mengenai pembicaraan yang terjadi selama sesi berlangsung. Hal ini mampu menjernihakan kesalahpahaman.
Suatu bagian penting dalam terminasi sesi individual adalah menentukan jadwal perjanjian berikutnya, hal ini dilakukan untuk mencapai kemajuan
2. Terminasi Hubungan Konseling
Konselor dan klien harus sama-sama menyetujui kapan terminasi hubungan yang akurat dan baik (Young, 2005). Umumnya dengan memberikan sinyal verbal ataupun nonverbal dalam mengakhiri hubungan. Termasuk di dalamnya adanya pengurangan intensitas kerja lebih banyak humor, laporan-laporan yang konsisten tentang membaiknya kemampuan menghadapi masalah, komitmen verbal terhadap masa depan, dan lebih sedikit penyangkalan, penarikan diri, kemurungan, dan ketergantungan (McGee, Schuman, & Racusen, 1972; Shulman, 1999; Welfel & Petterson, 2005). Shulman (1999) mengatakan bahwa umumnya seperenam dari waktu konseling harus digunakan untuk membicarakan terminasi.
Ada dua cara memfasilitasi akhir sebuah hubungan konselor-klien. Dixon dan Glover (1948) mendefinisakan pemudaransebagai pengurangan struktur yang tidak alami secara berangsur-angsur yang dikembangkan untuk menciptakan perubahan yang diinginkan. Dengan kata lain klien secara perlahan-lahan berhenti menerima bantuan dari konselor untuk berperilaku dalam cara tertentu dan pertemuan semakin dijarangkan. Cara lain untuk melaksanakan terminasi adalah membantu klien mengembangkan keahlian memecahkan masalah dengan sukses.

Penolakan Terhadap Terminasi
1. Penolakan dari Klien
Dua ekspresi penolakan yang paling mudah dikenali adalah meminta lebih banyak waktu pada akhir sesi dan meminta lebih banyak meminta temu janji setelah suatu tujuan tercapai. Namun ada bentuk lain seperti berkembangnya permasalahan baru yang bukan berasal dari kekhawatiran klien yang pada situasi ini klien dapat membuat konselornya yakin bahwa hanya konselor tersebut yang dapat membantunya dan hal ini membuat konselor akan merasa memiliki kewajiban untuk meneruskan pekerjaannya dengan klien tersebut baik dengan alasan pribadi maupun etika.
Proses terminasi sebaiknya dilakukan secara bertahap dan perlahan-lahan. Misalnya dengan jumlah pertemuan yang terbatas pada tiap sesi, berkonsentrasi bersama klien tentang mempersiapkan diri untuk lepas dari konseling.
Vickio (1990) mengembangkan cara yang unik dalam menerapkan strategi yang kongkret bagi para siswa yang berhadapan dengan rasa kehilangan dan terminasi dalam bukunya The Goodbye Brochure. Mengadapi kehilangan yang sukses dan kehilangan yang tidak sukses dengan lima D (lima M dalam bahasa Indonesia).
Kehilangan yang sukses:
  1. Menentukan cara untuk menjadikan transisi anda sebagai suatu proses yang bertahap
  2. Menemukan makna lain dari aktivitas-aktivitas dalam kehidupan anda
  3. Menggambarkan peran tersebut pada orang lain
  4. Menikmati apa yang telah anda dapatkan dan apa yang ada dihadapan anda
  5. Mendefinisikan bidang-bidang yang berkelanjutan dalam kehidupan anda
Kehilangan yang tidak sukses
  1. Menyangkal kehilangan
  2. Membengkokan pengalaman anda dengan melebih-lebihkan keberhasilan didalamnya
  3. Menurunkan jumlah aktivitas dan hubungan anda
  4. Mengalihkan perhatian dari memikirkan terminasi
  5. Melepaskan diri secara mendadak dari aktivitas dan hubungan anda
Lerner dan Lerner (1983) percaya bahwa penolakan dari klien sering kali disebabkan oleh ketakutan akan perubahan.

2. Penolakan dari Konselor
Goodyear (1981) menyebutkan delapan kondisi dimana terminasi dirasa sangat sulit bagi individu:
  1. Ketika terminasi menjadi sinyal akan berakhirnya sebuah hubungan yang signifikan
  2. Ketika terminasi meningkatkan kegelisahan konselor atas kemampuan kliennya untuk berfungsi secara mandiri
  3. Ketika terminasi membangkitkan rasa bersalah dalam diri konselornya karena belum dapat bekerja lebih efektif untuk kliennya
  4. Ketika konsep professional konselor terancam oleh klien yang pergi dan tiba-tiba marah
  5. Ketika terminasi menjadi sinyal akan berakhirnya suatu pengalaman belajar bagi konselor
  6. Ketika terminasi menjadi sinyal akan berakhirnya suatu pengalaman hidup menyenangkan yang dibayangkan melalui petualangan klien
  7. Ketika terminasi menjadi simbol rekapitulasi selamat tinggal orang lain (khususnya yang tak terpecahkan) di dalam kehidupan konselor
  8. Ketika terminasi memunculkan konflik di dalam diri konselor mengenai individualisasinya sendiri
Adalah sangat penting bagi konselor untuk mengenali kesulitan yang dihadapinya dalam melepaskan klien-klien tersebut. Konselor dapat berkonsultasi dengan rekannya dalam menghadapi permasalahan tersebut atau menjalani konseling untuk memecahkan masalah tersebut.
Terminasi Prematur
Terminasi prematur lebih berhubungan dengan seberapa baik klien telah mencapai tujuan pribadi yang di tetapkan pada awal proses konseling dan seberapa baik dia berfungsi secara umum (Ward, 1984). Terlepas dari cara klien mengekspresikan keinginannya untuk melakukan terminasi prematur, hal ini biasanya memicu pemikiran dan perasaan dalam diri konselor yang harus ditangani. Sebaiknya terminasi prematur ini dibicarakan antara klien dan konselor hal ini dapat membuat pikiran dan perasaan klien maupun konselor dapat diperiksa dan akhir yang prematur dapat dicegah.
Jika klien ingin berhenti maka wawancara keluar harus disiapkan. Ward (1984) menyebutkan 4 keuntungan wawancara ini:
  1. Dapat membantu klien memecahkan perasaan negatif yang berasal dari pengalaman konseling
  2. Berfungsi sebagai suatu cara untuk mengundang klien melanjutkan konseling jika dia menginginkannya
  3. Bentuk lain dari perawatan atau konselor lain dapat disertakan dalam wawancara keluar sebagai pertimbangan bagi klien jika klien menginginkannya
  4. Wawancara keluar dapat meningkatkan peluang bahwa dilain waktu ketika klien membutuhkan bantuan, dia akan kembali untuk mencari bantuan konseling
Ada dua kesalahan yang biasanya terjadi pada konselor yang pertama menyalahkan klien ataupun diri sendiri. Akan lebih produktif apabila konselor menganggap bahwa terminasi prematur ini bukan kesalahan siapapun. Yang kedua pihak konselor adalah pihak yang arogan terhadap situasi. Untuk menghindari kesalahan Cavanagh (1990) merekomendasikan agar konselor mencari tahu mengapa klien mengakhiri konseling secara prematur.
Daftar berikut menyebutkan beberapa variabel yang seringkali efektif dalam mencegah terminasi prematur (Young, 2005):
  • Temu janji, semakin sedikit interval waktu antara temu janji satu dengan berikutnya semakin reguler penjadwalannya, semakin baik
  • Orientasi pada konseling, semakin klien mengetahui proses konseling semakin tinggi minat mereka untuk tetap melanjutkannya
  • Konsistensi konselor, konselor yang pertama kali menjumpai klien harus melanjutkan konseling tersebut
  • Pengingat untuk memotivasi kehadiran klien
Terminasi Insiatif Konselor
Lawan dari terminasi prematur. Terkadang konselor perlu mengakhiri hubungan dengan beberapa atau semua kliennya. Alasannya bisa sakit, bekerja melalui countertransference, relokasi ke area lain, akhir dari masa praktikum atau asistensi, perjalanan panjang ke daerah lain, dan menyadari bahwa kebutuhan klien dapat dipenuhi baik oleh orang lain.
Baik London (1982) maupun Seligman (1984) menyajikan model untuk membantu klien dalam menghadapi ketidakhadiran konselornya untuk sementara. Para peneliti ini menegaskan bahwa klien dan konselor seharusnya mempersiapkan diri sedini mungkin untuk menghadapi terminasi sementara dengan mendiskusikan secara terbuka peristiwa yang akan terjadi dan mengatasi perasaan yang mendalam sehubungan dengan perpisahan tersebut.
Ada terminasi permanen yang diinisiatifkan konselor. Pada terminasi permanen atas inisiatif konselor, masih tetap penting untuk meninjau ulang kemajuan klien, mengkhiri hubungan pada waktu yang spesifik, dan membuat rencana pasca konseling.
Pengakhiran dengan Catatan Positif
Proses terminasi melibatkan serangkaian check point yang dapat dikonsultasikan oleh konselor dan kliennya untuk mengevaluasi kemajuan yang mereka buat dan menentukan kesiapan mereka untuk pindah ke tahap selanjutnya. Welfel dan Patterson (2005) menyajikan empat panduan yang dapat digunakan oleh konselor untuk mengakhiri suatu hubungan konseling yang intens dalam suatu cara yang positif:
  1. Sadar akan kebutuhan dan keinginan memberikan waktu pada klien untuk mengekspresikannya
  2. Meninjau ulang peristiwa-peristiwa penting dalam konseling dan membawa hasil tinajuan tesebut ke saat ini
  3. Mengakui dan mendukung perubahan yang telah dilakukan oleh klien
  4. Meminta kontak lanjutan
Masalah yang berhubungan dengan Terminasi: Tindak Lanjut dan Rujukan
a.      Tindak Lanjut
Tindak lanjut melibatkan pengecekan untuk melihat bagaimana perkembangan klien, dalan kaitannya dengan semua permasalahan yang ada, beberapa saat setelah terminasi terjadi (Okun & Kantrowitz, 2008). Intinya ini adalah proses pemantauan positif yang mendorong pertumbuhan klien (Egan, 2007). Tindak lanjut ini mampu memperkuat hasil.
Tindak lanjut dapat dalam jangka panjang maupun pendek. Jangka pendek biasanya dilakukan 3 hingga 6 bulan setelah satu hubungan konseling diakhiri. Jangka panjang setidaknya dilakukan selama 6 bulan setelah terminasi.
Ada 4 cara:
  1. Mengundang klien untuk suatu sesi guna membicarakan kemajuan-kemajuan yang diperolehnya dalam mencapai tujuan yang diinginkan
  2. Menghubungi klien melalui telepon
  3. Konselor mengirim surat kepada klien yang menanyakan mengenai kondisi klien sekarang
  4. Cara yang lebih impersonal yaitu konselormengirimkan surat yang berisi daftar pertanyaan tentang kondisi klien sekarang
Tindak lanjut personal paling efektif untuk mengevaluasi pengalaman masa lampau. Hal ini memberikan jaminan pada klien bahwa mereka diperhatikan sebagai individu bukan daftar statistik.
Jika pada sesi terakhir konselor dan klien menyetujui adanya tindak lanjut, tipe pemantauan diri dapat menjadi sesuatu yang berarti dan memberi klien bukti kongkret akan kemajuannya serta pandangan yang lebih jelas mengenai kebutuhannya saat ini
b.      Rujukan dan Daur Ulang
Rujukan adalah mengatur bantuan lain bagi klien ketika perjanjian awal tidak berjalan lancar atau tidak membantu  (Okun & Witz, 2008). Rujukan melibatkan bagaimana, kapan, dan siapa.

Daur ulang adalah suatu alternatif ketika konselor menganggap  meski proses konseling belum berjalan dengan baik tetapi masih dapat diperbaiki. Hal ini berarti memeriksa ulang semua tahap dalam proses terapi, dengan begitu klien dan konselor dapat merevisi atau mengulang proses konseling. Konseling seperti layaknya pengalaman tidak selalu sukses pada upaya pertama. Daur ulang memberikan klien dan konselor sebuah kesempatan kedua untuk mencapai apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak yaitu perubahan yang positif. 

Humanistic Psychology at the Crossroads

Dalam studi literatur ini, kami menjabarkan bagaimana psikologi humanistik dalam beberapa alirannya yang berseberangan menurut buku karya Schneider, Bugental, dan Pierson (2001) yang berjudul Handbook of Humanistic Psychology. Kami menjelaskan secara spesifik bagaimana pandangan Schneider dan kawan-kawan berdasarkan perspektif kami dengan membandingkan isi di bagian chapter 2 buku mereka ini. Kami juga memaparkan kelebihan dan kekurangan dari penjelasan mereka di dalam isi chapter buku tersebut.
Pada bagian awal chapter, Taylor & Martin (dalam Schneider, dkk., 2001) mencoba untuk membawa isu mengenai psikologi humanistik yang menjadi kontroversi. Apakah psikologi eksistensial-humanistik begitu dipertimbangkan dalam keilmuan psikiatri maupun psikologi yang berfokus pada psikoterapi? Disebutkan bahwa APA (2000 dalam Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001) pun masih menggali keabsahan dari pedoman psikoterapi berdasarkan pendekatan psikologi humanistik (Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001). Psikologi humanistik sendiri diyakini oleh penulis (Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001) akan sanggup berkembang meskipun hingga 40 tahun ia sulit untuk diterima kalangan psikolog secara umum.
Taylor dan Martin (dalam Schneider, dkk., 2001) mengatakan bahwa kontribusi psikologi humanistik sangat luas cakupannya dan telah lebih dari 50 tahun lamanya. Dalam perkembangan keilmuan psikologi, khususnya klinis, terjadi reduksi pendekatan behavioral yang menjadikan pendekatan psikoanalisis lebih diminati. Hal ini didukung pula oleh para ilmuwan macropersonality di tahun 1930-an yang sama-sama berpendapat bahwa seharusnya person-centered menjadi fokus utama psikologi (Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001). Taylor dan Martin (dalam Schneider, dkk., 2001) mengatakan bahwa hal ini menjadi cikal bakal teori client-centered dari Carl Roger, pandangan eksistensial Rollo May, dan juga hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow di tahun-tahun berikutnya.
Maslow dan Sutich (dalam Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001) datang dengan ketidakpuasan dengan eksperimen dan perubahan sosial yang mengesampingkan spiritual keluar dari gambaran kehidupan. Maslow dan Sutich bekerjasama untuk memperkenalkan dimensi kesadaran diri kembali dalam dunia psikologi, dengan poosisinya di organisasi mereka menamai dengan perubahan kemanusiaan (humanistik movement) pada tahun 1969 ini merupakan dasar awal  dari pembangunan jurnal tentang psikologi transpersonal. Dimensi spritual tentang pengalaman, mengaktualisasikan diri, mediasi, meta-nilai dan kesadaran yang tinggi untuk memunculkan usaha baru.
Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba, untuk itu Maslow dan Sutich mengambil sebagian besar sebagian besar pemimpin gerakan humanis di waktu itu (dalam Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001). Akibatnya terjadi perubahan atau pergeseran yang dramatis di akademi psikologi dalam hal budaya, hal itu merupakan konsekuensi yang tidak diinginkan. Pada saat itu muncul beberapa gerakan tandingan psikoterapi yang didorong oleh kemajuan psikologi humanistik dan meluasnya eksperimen psychedelics, meningkatnya minat terhadap gerakan agama dari budaya Asia, munculnya gerakan anti perang, munculnya feminisme dan politik gender radikal, dan beberapa minat lain yang sebelumnya belum pernah terjadi di jaman era modern.
Pertanyaannya sekarang, dimana letak gambaran psikologi humanistik ? Saat ini institut psikologi humanistik, Saybrook Garduate School dan pusat penelitian, dengan akreditasi A dan program PH.D, tetapi di dominasi oleh ilmu pengetahuan tentang manusia daripada humanistik. Pada intinya psikologi humanistik hanya merepresentasikan sebagian kecil dari psychotherapeutic dan hanya sebagain kecil yang diterapkan di akademi psikologi. Jurnal mengenai psikologi humanistik tidak diakui oleh APA, namun tetap dipakai untuk mendukung sebagai literatur.
Psikologi mainstream menganggap humanistik bukanlah pendekatan ilmiah (dalam Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001). Psikologi humanistik memiliki kesalahan karena dianggap terlalu banyak memuja individu dan pengalaman mereka. Walsh & Schneider (dalam Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001) mengemukakan psikologi transpersonal meyakini bahwa humanistik mempelajari mengenai eksistensi dan dan psikologi transpersonal mengenai spiritual, karena spiritual memiliki posisi lebih tinggi maka psikologi transpersonal dianggap mampu menggantikan humanistik. Dinamika kelompok cenderung lebih jauh dari lingkungan intelektual yang menghubungkan tradisi humanistik untuk disiplin yang lebih tinggi. Para ilmuwan telah dibanjiri oleh ideologi Marxisme radikal yang telah berhasil menjajah setiap relung kebebasan yang diciptakan oleh gerakan humanistik dalam psikologi di Amerika Serikat sejak tahun 1960-an (dalam Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001).
Psikologi humanistik, sementara itu, umumnya telah kembali ke postmodernisme dan ideologinya, percaya ilmu pengetahuan manusia menjadi rubrik yang lebih umum yang membedakan pendekatan mekanistik untuk ilmu lebih dari person-centered (dalam Taylor & Martin dalam Schneider, dkk., 2001). Pada saat yang sama, gerakan humanistik telah menyebar sumber daya sedikit diatas medan yang luas, yang bertujuan bisnis, hukum, kedokteran, seni, dan budaya dengan cara yang telah cukup tidak jelas sumbernya dalam psikologi.
Jadi, kita sekarang dapat mempertajam pertanyaan cukup dengan kembali bertanya dengan cara yang berbeda tetapi diinformasikan dengan cara lebih historis Apa potensi masa depan psikologi humanistik dalam psikologi? Apakah akan diserap ke dalam arus mainstream? Atau, ia akan membangkitkan psikolog untuk pembangunan ilmu baru yang akhirnya membahas spektrum penuh dari pengalaman manusia, sehingga berpotensi mengubah ilmu-ilmu lain melalui psikologi dan, pada saat yang sama, membuka dialog baru antara ilmu pengetahuan dan humaniora?
Jika psikolog humanistik terus melanjutkan untuk proses sepanjang  mereka hadir, menghamburkan perhatian mereka di terlalu banyak bidang studi dan percaya bahwa masa depan mereka terletak pada mengemukakan teori yang sudah ketinggalan zaman postmodernisme sementara melupakan akar dasar mereka dalam psikologi, maka jawabannya adalah bahwa kontribusi dasar mereka ditakdirkan untuk dikurung oleh psikolog mainstream, dan nasib mereka akan sama dengan psikolog Gestalt eksperimental dari tahun 1930-an. Psikologi Gestalt adalah tantangan laboratorium eksperimental pertama yang unik dengan atomisme Wundtian yang selalu mendominasi laboratorium eksperimental Amerika karena secara keseluruhan Gestalt pada saat yang sama itu tetap ilmiah dan eksperimental. Psikolog eksperimental Amerika menetralkan secara efektif tantangan epistemologis, bagaimanapun, dengan mengurung  ide utama dari figure-ground, closure, contrast, continuity, dan sejenisnya ke dalam aliran buku pelajaran psikologi umum tanpa harus menghadapi pertanyaan metafisik mengangkat tentang cara ilmu dasar dilakukan. Psikologi Amerika kemudian melanjutkan menjadi perilaku dan reduksionistik. Psikologi humanistik sekarang tampaknya akan mengalami perpaduan yang serupa.
Psikologi humanistik merupakan pendekatan baru dalam disiplin ilmu psikologi yang membuat sebuah perubahan besar tidak hanya bagi ilmu psikologi saja tapi juga bagi ilmu alam dan ilmu sosial. Hasil dari psikologi humanistik yang berbeda inilah yang membuat perubahan dalam ilmu psikologi dan ilmu sosial serta ilmu alam. Agar psikologi humanistik diakui oleh kalangan akdemisi, diperlukan sebuah usaha dari para tokoh psikologi humanistik. Selain agar psikologi humanistik diakui oleh kalangan akademisi, juga agar dapat terlibat sebagai ilmuwan, klinis, dan administrator. Oleh karena itu psikologi humanistik membutuhkan seorang pemimpin yang dapat mengidentifikasi dan melakukan gerakan yang signifikan untuk psikologi humanistik.
Psikologi humanistik memberikan pandangan baru yaitu mengenai pentingnya mengkaji person-centered. Person-centered merupakan ilmu psikologi yang fokus pada individu sebagai subjek utama. Untuk menyadarkan kalangan akademisi mengenai pentingnya person-centered maka psikologi humanistik harus lebih memasukkan ilmu psikologis dalam kajiannya. Dalam psikologi humanistik psikoterapi tidak hanya digunakan sebagai tempat untuk transformasi kepribadian tetapi juga sebagai laboratorium jenis baru dalam psikologi eksperimental. Pada dasarnya psikologi humanistik masih membutuhkan masukan dukungan keuangan, anggota, dan pengikut jurnal psikologi humanistik yang lebih banyak.
Eugene Taylor dan Frederick Martin (dalam Schneider dkk, 2001) memberikan pendapat dalam tulisannya mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh psikologi humanistik. Psikologi humanistik harus membuat psikologi modern yang memiliki perhatian terhadap eksperimentalis agar fokus pada fenomenologi daripada positivistik bagi sebuah penelitian ilmu baru.


Oleh:
Tim kelompok psikologi humanistik

Sumber:
Schneider, K., Bugental, J., Pierson, J. (2001). The Handbook of Humanistic Psychology: Leading Edges in Theory, Research, and Practice

Terminasi Hubungan Konseling

Terminasi mengacu pada keputusan untuk menghentikan konseling. Keputusan dapat dibuat sepihak atau bersama. Terlepas dari banyak bahasan m...