Minggu, 24 Desember 2017

Sejarah dan Definisi Psikologi

Kata Psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu tentang jiwa. Pendekatan dan orientasi filsafat Masa Yunani  terarah pada eksplorasi alam dan observasi empiris yang ditandai dengan kemajuan di bidang astronomi dan matematika, meletakkan dasar ciri natural sains pada psikologi yaitu objektif, eksperimen, observasi, dan aktivitas nyata dari organisme hidup. Pertanyaan utama selalu berulang:
“Mengapa kita berperilaku seperti yang kita lakukan? Mengapa kita mampu menghasilkan penjelasan yang masuk akal dari beberapa tindakan tapi bukan dari orang lain? Mengapa kita memiliki suasana hati yang berubah? Mengapa kita tampaknya tahu apa yang kita ketahui?”, dari pertanyaan itu banyak sekali dari filsuf hingga ahli kedokteran mencoba menggali lebih lanjut mengenai apa itu psikologi, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan berbagai teori dan eksperimen hingga menghasilkan banyak sekali definisi mengenai psikologi.
Sebelum berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan pada tahun 1879, psikologi (atau tepatnya gejala-gejala kejiwaan) dipelajari oleh filsafat dan ilmu faal. Filsafat sudah mempelajari gejala-gejala kejiwaan sejak 500-600 tahun SM, yaitu melalui filsuf-filsuf Yunani Kuno. Diantara para filsuf itu adalah Thales (624-548 SM) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat. Beliau mengartikan jiwa sebagai sesuatu yang supernatural. Anaximander (611-546 SM) yang berpendapat bahwa segala sesuatau berasal dari apeiron artinya tak terbatas, tak berbentuk, tak bisa mati (the boundless, formless, immortal matter), yaitu seperti konsep tentang Tuhan di zaman sekarang. Anaximenes (490-430 SM) percaya bahwa jiwa itu ada karena segala sesuatu berasal dari udara. Empedokles (490-430 SM) menyatakan bahwa ada empat elemen dasar alam, yaitu bumi/tanah, udara, api, dan air, sedangkan manusia bisa dianalogikan sama, yakni tulang/otot/usus (dari bumi/tanah), fungsi hidup (dari udara), rasio (dari api), dan cairan tubuh (dari air). Hipokrates (460-375 SM) dikenal sebagai bapak Ilmu Kedokteran berpendapat bahwa jiwa manusia digolongkan kedalam empat tipe sanguine (riang), melankolis (murung), kolerik (cepat bereaksi), flegmatis (lamban).
Dari tiga serangkai yang terkenal diantaranya Sokrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates memperkenalkan teknik maeutics, yaitu wawancara untuk memancing keluar pikiran-pikiran seseorang. Plato berteori bahwa jiwa manusia mulai masuk ke tubuh sejak manusia ada dalam kandungan, dan mempunyai tiga fungsi yaitu logisticon (akal) yang berpusat dikepala, thumeticon (rasa) yang berpusat di dada, dan abdomen (kehendak) yang berpusat diperut. Aristoteles menyumbangkan pikiran yang sangat penting dalam tulisannya “The Anima”.
Pemikiran para filsuf Yunani Kuno berkembang terus sampai pada masa Renaissance, yaitu zaman revolusi ilmu pengetahuan di Eropa. Masa ini merupakan merupakan reaksi terhadap masa sebelumnya, dimana pengetahuan bersifat doktrinal di bawah pengaruh gereja dan lebih didasarkan pada iman. Reaksi ini sedemikian kuat sehingga dapat dikatakan peran nalar menggantikan peran iman, ilmu pengetahuan menggantikan tempat agama dan iman di masyarakat. Semangat pencerahan semakin tampak nyata dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat melalui menguatnya peran nalar (reason) dalam segala bidang, dikenal sebagai the age of reason. Akal budi manusia dinilai sangat tinggi dan digunakan untuk membentuk pengetahuan. Masa Rennaissance ditandai dengan bergesernya fokus pemahaman dari God-centeredness menjadi human-centerednes, dikenal dengan istilah sekularisasi atau humanity. Tulisan-tulisan filsuf terkenal seperti Plato, Aristoteles dan lain-lain dikaji untuk melihat bagaimana pola pikir penulisnya dan konteks histories waktu tulisan itu dibuat. Maka yang dicari adalah human truth dan bukan God truth. Kesimpulan akhirnya adalah penerimaan bahwa kebenaran memiliki lebih dari satu perspektif.
Selanjutnya Masa Pasca Renaisans dan Revolusi Ilmiah. Ada beberapa pandangan penting tentang manusia pada masa ini yakni pola pikir yang lebih mekanistik dalam memandang alam dan manusia. Itu berarti alam memiliki sistem, dapat diramalkan, dan tidak tunduk pada hukum-hukum spritual belaka. Manusia juga memiliki reason, kemampuan untuk berpikir logis dan dengan demikian tidak tunduk total kepada hukum spiritual dan kesetiaan semata. Beberapa teori diantaranya Teori Newton tentang gravitasi, Heliosentris Copernicus (bertentangan dengan Galileo), mind-body solution dari Descartes. Rene Descartes (1596-1650) mengemukakan bahwa manusia memiliki dimensi jiwa dan raga yang tidak dapat dipisahkan. Filsuf Perancis ini, mencetuskan definisi bahwa ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu tentang kesadaran. Ia mengemukakan mottonya yang terkenal yaitu “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). George Barkeley (1685-1753) seorang filsuf Inggris mengemukakan pendapat bahwa yang terpenting adalah penginderaan, bukan kesadaran atau rasio. Disini dikenal Nature philosophy yakni alam diatur menurut hukum yang pasti, empirik dan dapat dibuktikan lewat eksperimen. Memahami alam harus diikuti sikap mental pengujian fakta obyektif dan eksperimental. Implikasinya adalah munculnya diskusi tentang. ‘knowledge’ yang menyebabkan perkembangan ilmu dan metode ilmiah yang maju dengan pesat. Penekanan pada fakta-fakta yang nyata daripada pemikiran yang abstrak. Ilmu-ilmu eksakta yang menggunakan pendekatan empiri menjadi semakin dominan, sesuatu yang sampai sekarang juga masih dapat dirasakan pengaruhnya. Pada masa ini ilmu fisikalah yang dikenal sebagai ‘the queen of science’, dengan munculnya fisikawan besar seperti Newton.
Era ilmu faal dimulai pasca-renaisan. Para ahli ilmu faal (fisiologi) ketika itu, khususnya para dokter mulai tertarik pada masalah-masalah kejiwaan. Khususnya dibidang fisika (ilmu alam) dan biologi, para ahli faal berpendapat bahwa jiwa erat sekali hubungannya dengan susunan syaraf dan refleks. Dimulai dengan Sir Charles Bell (1774-1842, Inggris). Setelah penemuan-penemuan itu timbullah definisi-definisi tentang psikologi yang mengaitkan psikologi dengan tingkah laku dan selanjutnya mengaitkan tingkah laku dengan refleks. Dan perkembangan definisi-definisi  itu masih berlanjut hingga sekarang. Hingga menjadikan perdebatan mengenai definisi yang terus berlanjut. Sebagian pakar ingin definisi yang lebih kongkret daripada jiwa, atau mental, sehingga mereka mendefinisikan psikologi sebagai “aktivitas mental” (John Dewey, Carr), “elemen instrospeksi/mawas diri (Titchner, Daellenbach), “Waktu reaksi” (Scripture), “Refleks” (Pavlov), atau “perilaku” (Watson).
Banyak sekali orang-orang terdahulu yang mendefinisikan psikologi. Tentu saja menarik mengikuti perdebatan tentang psikologi yang tidak terselesaikan ini. Apalagi ditambah dengan filsuf-filsuf islam seperti Abu Sina atau Avicenna (980-1037), Imam Ghazali atau Abu Hamid al-Ghazali (1058-1128).
Dari definisi-definisi para tokoh tersebut psikologi dapat didefinisikan sebagai kajian saintifik tentang tingkahlaku dan proses mental organisme. Tiga ide penting dalam definisi tersebut ialah scientific, tingkahlaku, dan proses mental. Scientific bermakna kajian yang dilakukan dan data yang dikumpulkan mengikuti prosedur yang sistematik. Walaupun kaedah scientific diikuti, ahli-ahli psikologi perlu membuat berbagai tafsiran berdasarkan temuan yang diperoleh. Ini dikarenakan subjek yang dikaji adalah hewan dan manusia, tidak seperti sesuatu sel (seperti dalam kajian biologi) atau bahan kimia (seperti dalam kajian kimia) yang secara perbandingan lebih stabil. Manakala mengkaji tingkah laku hewan atau manusia memang sukar dan perlu kerap membuat tafsiran.
Tentu saja psikologi bukanlah ilmu yang berjalan sendiri apalagi kaitannya dengan manusia. Perilaku manusia tidak hanya dipelajari oleh psikologi, tetapi juga oleh Antropologi, Kedokteran, Sosiologi, manajemen dan beberapa cabang Linguistik. Semua ini dikelompokan kedalam keluarga besar “Ilmu-Ilmu Prilaku” (Behavioral Sciences). Yang membedakan Psikologi dari ilmu-ilmu perilaku lain adalah psikologi lebih menaruh perhatian pada perilaku manusia sebagai individu, sedang antropologi, sosiologi, dan manajemen lebih pada perilaku manusia sebagai kelompok. Kedokteran memang menaruh perhatian pada perilaku individu, tetapi lebih menekan gejala-gejala fisik dan psikologi lebih pada gejala-gejala mental. Di pihak lain, Psikologi juga dipandang sebagai Ilmu Biososial karena baik aspek-aspek sosial perilaku organisme maupun aspek-aspek Fisiologis atau Biologis terjadinya prilaku mendapat perhatian yang sama besarnya. Sejak awal perkembangannya Psikologi banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain. Telah diakui bahwa psikologi berinduk kepada Filsafat, khususnya filsafat mental. Namun dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu (Beta) seperti Fisika, Kimia dan Biologi memberikan andil yang cukup besar baik dalam aspek metodologi maupun topik-topik kajian. Sulit untuk merinci pengaruh tersebut satu persatu. Berikut ini sekedar gambaran umum dari pengaruh ilmu-ilmu lain serta cabang-cabang Psikologi yang lahir dari singgungan tersebut diatas.

Daftar Pustaka
Adawiyah, R. (2011, Februari Selasa). PsikologiZONE. Dipetik November Sabtu, 2014, dari Definisi, Sejarah, Hubungan Psikologi : http://psikologizone.blogspot.com/2011/02/definisi-sejarah-hubungan-psikologi.html
Apa Beda Psikolog dan Psikiater? . (t.thn.). Dipetik November Sabtu, 2014, dari Faculty Of Medicine Airlangga University: http://www.fk.unair.ac.id/news/focus/apa-beda-psikolog-dan-psikiater.html
Carter, L., & Grivas, J. (2005). Psychology for South Australia Stage 1. Milton: Jacaranda.
Icha. (2011, November). Definisi dan Sejarah Perkembangan Ilmu Psikologi . Dipetik November Sabtu, 2014, dari Psychology: http://chatifanaima.blogspot.com/2011/11/definisi-dan-sejarah-perkembangan-ilmu.html
Patonah, P. S. (2011, Februari Selasa). Pengertian, Sejarah Psikologi. Dipetik November Sabtu, 2014, dari PsikologiZONE: http://psikologizone.blogspot.com/2011/02/pengertian-sejarah-psikologi.html
Sarwono, S. W. (2012). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Weiten, W. (2011). Psychology Themes and Variation . United States of America: Wadsworth Cengage Learning.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terminasi Hubungan Konseling

Terminasi mengacu pada keputusan untuk menghentikan konseling. Keputusan dapat dibuat sepihak atau bersama. Terlepas dari banyak bahasan m...